Ini adalah
sepenggal kisah hidupku, yang pernah aku alami pada tahun-tahun terakhirku
kuliah di Jogja... suatu peristiwa yang banyak merubah hidupku dan tak pernah
aku lupa. karena penggalan kisah ini hanyalah sebagian kecil dari
kepingan-kipingan waktu yang sedang aku coba susun menjadi sebuah perjalan
hidup seorang Yoga...
Gerimis baru
saja reda. Kabut masih menyelimuti lembah di Kaki Merapi. Kulirik jam di tangan
kananku, sudah hampir jam lima
sore. Aku harus kembali ke rumah Mbah Marijan. Karena aku sama sekali tidak
membawa perlengkapan camping jika bermalam di lembah ini.
Baru saja aku
hendak meninggalkan lembah, alunan tembang Dhandhang Gulo kembali terdengar
lembut di telingaku. Aku selalu mengunjungi lembah ini, sebagai tempat aku
menangkan diri untuk menulis. Dan setiap kali aku hendak beranjak, selalu saja
terdengar suara wanita yang menyanyikan tembang Dhandhang Gulo. Suaranya sangat
lembut dan terdengar begitu jauh. Entah siapa yang menyanyikan dan dari mana
suara itu berasal. Biasanya aku mendengarkan alunan tembang tersebut sambil
meninggalkan lembah ini. Tapi kali ini aku menjadi sangat penasaran. Aku
benar-benar ingin tahu dari mana suara itu berasal.
Aku hentikan
langkahku. Kupandang sekelilingku, tidak ada apa-apa. Selain hamparan bukit
yang di selimuti kabut. Aku pasang telingaku baik-baik. Mencoba mencari arah
suara itu di sela-sela nyanyian kumbang menyambut malam.
Hari semakin
gelap, hawa dinginpun mulai merayapi tubuhku dan aku masih mencari asal suara
itu. Aku yakin suara itu berasal dari sini. Dari lembah merapi! Aku sudah
berjanji pada Mbah marijan untuk kembali sebelum maghrib. Tapi rasa penasaranku
mengurungkan aku untuk segera kembali ke rumah Mbah Marijan. Sekitar setengah
jam lagi pasti terdengar adzan maghrib. Seandainya aku pulang sekarangpun,
tetap saja aku tidak bisa ikut sholat maghrib berjamah di mushola dekat rumah
Mbah Marijan. Tidak apa-apa aku akan sholat di sini saja, semoga saja Mbah
Marijan masih menyisakan sayur lodehhnya untuk makan malamku nanti.
Aku susuri
sungai kecil di dasar lembah, firasatku kuat menyatakan bahwa suara tersebut
berasal dari sekitar sungai. Memang nyanyian tersebut terdengar semakin jelas
dari sini. Dan suara gemerisik air seolah menjelma menjadi alunan musik yang
mengiringi nyanyian tersebut. Benar-benar suara yang merdu.
Aku mencoba
menghayati setiap alunan nada pada nyanyian tersebut. Semakin dalam aku
menghayatinya, semakin aku merasa sangat familiar dengan pemilik suaranya.
Entah siapa, tapi aku benar-benar mengenal suara itu. Entah dimana dan kapan
aku pernah mendengarnya. Tapi suara yang mendayu-dayu tersebut, membangkitkan
kerinduan tersendiri dalam relung-relung hatiku. Seperti ada perasaan cinta
yang tumbuh kembali dalam dadaku. Entah pada siapa.
Aku pejamkan
mataku. Kuhirup nafas dalam-dalam. Udara senja di lembah Merapi benar-benar
menyegarkan pikiranku. Dan suara itu masih mendayu-dayu membawakan tembang Dhandhang
Gulo. Sebuah tembang Jawa kuno yang berisikan pesan-pesan moral tentang
kemanusiaan dan hubungannya dengan Tuhan. Pesan-pesan moral? Dari mana aku tahu
kalau tembang tersebut tentang pesan-pesan moral? Tembang itu menggunakan
bahasa Jawa yang begitu halus dan aku sama sekali tidak memahaminya. Tetapi selain
suara yang menyanyikannya, tembang tersebut juga sangat familiar di telingaku.
Aneh! Benar-benar aneh!!! Aku seperti dipermainkan oleh perasaanku sendiri.
“Kakang…”
terdengar suara wanita di belakangku begitu halus dan bergetar. Aku balikkan
tubuhku perlahan. Tampak samar dibelakangku sosok wanita berbalut kain dan
kebaya berwarna biru pucat. Lembaran kabut menghalangi pandanganku, aku mencoba
mendekatinya.
“Kakang…” sekali lagi terdengar suara wanita tersebut.
Apa dia memanggilku kakang?
“Maaf, apa mba
memanggil saya?” tanyaku hati-hati.”
Tapi wanita
tersebut tidak menjawab. Ia mendekatiku perlahan. Semakin dekat semakin
jelaslah sosoknya kini. Ia seorang gadis muda dengan rambut panjang yang
dikucir terurai. Mukanya tampak pucat, seperti menyimpan suatu kesedihan yang
mendalam. Dan yang paling menarik perhatianku adalah pakaian yang dikenakannya.
Sangat kuno. Aku hanya dapat melihat sosok seperti ini dimusium atau di
buku-buku sejarah.
“Apa kakang
sudah melupakanku, aku sudah mencari kakang sejak lama.” Terdengar suaranya
bergetar.
“maaf maksud mba
apa?” Tanyaku hati-hati. Ada
perasaan takut dalam diriku. Aku yakin sosok di depanku adalah tidak nyata.
Tetapi ada sesuatu yang mendesak dalam dadaku untuk terus menatapnya. Sebuah
perasaan yang sangat nyaman saat aku memandang wajahnya.
“Usai
pertempuran itu, aku mencari-cari kakang diantara mayat-mayat prajurit yang
bergeletakan.” Gadis itu berkata setengah berteriak, ada nada kesal dalam
kata-katanya. Dan entah kenapa pipinya basah oleh air mata.
“Aku mendengar
kakang gugur. Aku mencari kakang ke palagan (medan perang) di dekat Prambanan, walaupun
abu merapi telah menggelapkan mataku. Tapi aku tetap mencari kakang.” Gadis itu
terisak, tak lama kemudian tangisnya pecah dan ia mendekap tubuhku, membenamkan
kepalanya di dadaku sambil terisak. Aku rasakan hawa dingin dari tubuhnya. Gadis
itu terus terisak sambil sesekali menyebutkan perang yang terjadi di dekat
Prambanan.
Entah perang apa
yang ia maksud. Lagi-lagi aku tidak merasa aneh dengan perang tersebut. Gadis
itu melepaskan pelukannya dari tubuhku. Matanya yang basah menatap tajam ke
arahku. Seolah-olah ia menuntut sesuatu.
“Kenapa kakang
meninggalkanku?” tanyanya dengan suara yang serak. Tangisannya telah membuat
suaranya tak semerdu saat dia menyanyi tadi. Tapi aku masih mendengar
kelembutan pada getar suaranya.
“Kenapa kakang memutuskan
untuk menjadi pemanah dan bergabung dalam perang laknat itu bersama tentara
Pajang!?”
“Pemanah?
Tentara Pajang?” aku bertanya pada diriku. Sesuatu seperti sedang berputar
dalam otakku. Mencoba menggali ingatan yang telah lama terkubur.
Aku jadi ingat
mimpi-mimpiku. Ya…mimpi yang sama yang selalu
aku alami sejak aku kecil. Dimana aku terkapar di atas tanah yang lembab,
dengan rasa pedih di sekujur tubuhku. Di sekitarku tubuh-tubuh bergeletakan
membisu dalam kesunyian. Dalam mimpiku aku menatap kosong langit yang
menghitam. Kilatan-kilatan cahaya sesekali menerangi langit diiringi suara
gemuruh yang menakutkan. Aku ingat dalam mimpi-mimpiku. Hujan abu menari-nari di udara, bagaikan
sebuah tarian kematian yang hendak menghantarku dalam kegelapan.
Mimpi itu selalu
berulang. Dan atak pernah aku mengerti apa maknanya. Yang aku tahu aku selalu
merasakan pusing yang luar biasa saat terbangun dari mimpi tersebut.
“Kakang aku
mencintaimu….” Gadis itu kembali berkata dengan suara yang lemah. Suaranya
terdengar samar diantara memoriku yang sedang berputar kencang tentang
mimpi-mimpiku, tentang wajah gadis yang tak asing di depanku.
Aku berpikir
keras, sangat keras! Hingga tak terasa darah segar keluar perlahan dari lubang
hidung kananku. Kepalaku terasa pusing, tapi aku terus memaksakan diri untuk
mengingat sesuatu yang terasa begitu jauh.
Akhirnya
ingatanku terbentur pada suatu sosok, pada suatu waktu yang tidak pernah aku
bayangkan.
Aku adalah
seorang penyair muda yang memutuskan untuk bergabung bersama pasukan Pajang
melawan kerajaan Jipang. Aku masih ingat dalam mimpi itu, alasan apa yang
membuat aku memutuskan untuk ikut dalam berperang. Perang adalah sesuatu yang
aku benci sebelumnya.
Aku ingat, gadis
yang berdiri di depanku adalah gadis yang pernah aku cintai. Dia adalah Nyi Mas
Kemuning, putri dari Mpu TanuBraja, dia memiliki padepokan di Dusun larangan di
kaki Merapi. Kami saling mencintai. Tapi Mpu menentang cinta kami. Dan
menjodohkan Nyi Mas dengan salah seorang adipati dari Kerajaan Pajang. Saat itu
aku merasa sakit hati dan kecewa. Karena itulah aku memutuskan untuk
meninggalkan duniaku sebagai seorang penyair dan memutuskan untuk bergabung
menjadi Prajurit Pajang yang saat itu sedang bersiap-siap menghadapi bala
tentara Jipang.
Dalam proses
seleksi, aku terpilih menjadi seorang pemanah. Dalam pertempuran melawan
kerajaan Jipang di dekat prambanan, aku berdiri di garis depan. Ya aku ingat,
saat itu terjadi beberapa gempa kecil di sana.
Katanya Merapi akan meletus karena tidak merestui perang saudara antara Pajang
dan Jipang. Tetapi perang itu tetap digelar. Karena sebuah ambisi dan
kehormatan yang kami sendiri tidak pernah memahaminya. Sebagian besar prajurit
menjadikan perang ini sebagai pengorbanan terhadap negara. Tetapi aku
menjadikannya sebagai sebuah pelarian dari cinta yang tidak direstui. Aku
merasa kecil.
Suasana semakin
gelap. Gempa-gempa kecil semakin kerap terjadi menyertai terompet dan genderang
perang, yang bersahut-sahutan mengobarkan semangat dan amarah.
Aku teringat
pada ribuan anak panah yang berhamburan di udara, melesat ke arah kami menembus
abu merapi yang berjatuhan dari udara. Aku teringat bagaimana anak-anak panah
itu menerjang kami. Beberapa dari kami berjatuhan dengan teriakan yang
menakutkan dan terus berjatuhan.
Aku juga teringat
bagaimana kami mencoba melepaskan anak-anak panah kami diantara hujan anak
panah dan abu Merapi yang menerjang kami. Hatiku tergetar saat itu. Aku seperti
tidak menyadari apa yang sedang aku lakukan. Aku tak pernah membayangkan
sebelumnya. Berdiri digaris depan sebuah pertempuran dengan busur di tangan.
Dengan tubuh-tubuh berjatuhan di sekelilingku. Mereka adalah anak-anak muda
seperti aku. Anak-anak muda yang seharusnya memiliki jalan hidup yang lebih
baik, ketimbang harus berakhir di medan
perang seperti ini.
Masih teringat
dalam ingatanku, bagaimana saat senopati perang memerintahkan pasukan panah
untuk meletakkan busur dan menggantinya dengan pedang. Ia mengayunkan
pedangnya, menghunus ke arah barisan musuh. Disusul dengan gelombang teriakan
para prajurit yang merangsek ke depan. Aku berada dalam barisan tersebut.
Berlari ke arah barisan musuh dengan pedang terhunus.
Sementara pada
barisan musuh. Mereka juga melakukan hal yang sama. Berlari ke arah kami dengan
pedang-pedang dan tombak terhunus. Aku bisa merasakan amarah dan semangat mereka.
Sesaat aku merasa takut. Tapi yang ada dalam pikiranku adalah wajah Nyi Mas.
Hanya itu!
Dua barisan yang
melaju berlawanan saling beradu. Terdengar pekikan kematian diantara denting
besi-besi senjata yang saling beradu. Semuanya seperti mengalir begitu cepat.
Tak pernah kubayangkan sebelumnya aku akan berada dalam posisi seperti ini. Seumur
hidupku yang aku hadapai hanyalah pena dan lembaran-lembaran lontar. Aku selalu
bertempur dengan pikiranku sendiri. Tapi kini… pena itu telah berganti pedang,
lembaran lontar itu telah berganti dengan selapis jiwa yang bertuliskan kisah
tentang ketakutan, amarah dan kekecewaan. Semuanya tertulis menjadi satu
rangkaian kisah yang memilukan. Aku melihat orang-orang berteriak, saling
mencari peluang untuk membunuh dan bertahan. Tidak kupercaya kami semua saat
itu saling membunuh dan disaat yang bersamaan juga kami berdoa pada Tuhan yang
sama. Memohon perlindungan dan keselamatan. Perang memang tidak pernah
dimengerti. Dan yang tak lebih kumengerti lagi, aku berada pada situasi yang
tidak pernah aku suka. Selama ini aku menentang kekerasan tapi justru saat ini
aku menjadi pelaku kekerasan dalam sebuah wadah yang bernama perang!
Di antara ayunan
pedang, wajah Nyi Mas semakin kuat membayang dalam benakku. Aku merasa semakin
jauh dari tempatku berada. Semua kegaduhan seakan berangsur sirna. Aku merasa
sendiri, kosong tak berarti. Ketakutan, amarah dan kekecewaan yang tertulis
dalam lembaran jiwaku, berganti dengan alunan puisi sunyi tanpa makna. Entah di
mana aku dan siapa aku sekarang. Aku seperti tubuh kosong yang melayang, tanpa
jiwa, tanpa pedang, tanpa pikiran. Sendiri dalam ruang hampa yang melayang.
Sesuatu membuat
mataku tersa pedih. Aku mencoba membuka ke dua mataku. Rasa pedih membuat
kelopak mataku terasa berat. Pandangan pertamaku tertuju pada langit yang
menghitam. Dengan butiran-butiran abu hitam yang berguguran dari langit serupa
hujan. Abu-abu itu sangat menyesakkan pernapasan. Kucoba bergerak tapi aku tak
mampu menggerakkan badanku sedikitpun, seluruh persendianku terasa linu dan
sesuatu yang perih di perut kananku terasa begitu menyiksa. Ada
sesuatu yang basah kurasakan mengalir di sana. Aku melihat sekitarku dengan pandangan yang
samar. Tubuh-tubuh beku bergelimpangan dengan wajah-wajah yang pucat. Aku
rasakan tanah tempatku berbaring begitu basah dengan uap amis darah.
Sementara di
sebelah selatan, aku lihat sesekali langit yang hitam diterangi oleh warna
merah yang menyala. Diiringi dengan suara gemuruh yang menakutkan. Rupanya Kyai
Merapi tidak merestui pecahnya perang saudara ini.
Aku hanya
berbaring menunggu waktu, disela-sela hujan abu, diantara mayat-mayat yang
membisu dan gemuruh murka Kyai Merapi. Aku hanya berbaring dalam dekapan sunyi
dengan bayangan Nyi Mas yang menari dalam hatiku. Seperti bidadari kecil yang
meniti tangga-tangga langit dengan sayap-sayap sutra yang mengembang laksana
merak.
“Hanya itu yang
aku ingat..” suaraku begitu lirih terdengar, bahkan oleh telingaku sendiri.
“Kau adalah
benar Kakang Aryaku.” Gadis itu berkata sambil mengusap pipiku. Tangannya
serasa begitu dingin menyentuh kulitku. Lebih dingin dari udara senja di lembah
Merapi saat ini.
“Tahukah
kakang…” gadis itu beranjak duduk disalah satu gundukan tanah tak jauh dari
tempatku berdiri. Tangannya gemulai merapihkan gerai rambutnya yang terusik
angin.
“Aku lari dari
perjodohan itu. Aku mencarimu hingga pertempuran usai, aku tetap mencarimu hingga
ke palagan dekat Prambanan. Karena apa? Karena aku sangat mencintaimu.” Gadis
itu menghentikan kalimatnya. Matanya menatap tajam ke arahku.
“Nyi Mas..” aku
mendekatinya perlahan. Terus terang, aku sendiri masih belum benar-benar
mengerti dengan peristiwa ini. Bagaimana bisa, aku bearda dalam pertempuran
yang terjadi lebih dari 500 tahun yang lalu. Tapi mimpi-mimpi itu? Dan gadis
ini… seperti sebuah kepingan waktu yang tercecer.
“Kakang,
berhari-hari aku meratapimu di sana.
Aku tak peduli dengan bau busuk dari sisa-sisa pertempuran. Bahkan aku tidak
peduli dengan amuk gunung merapi saat itu. Aku frustasi, aku kecewa dengan
keputusan kakang meninggalkanku dan memilih untuk bergabung dengan pertempuran
laknat itu!!”
“Maaf Nyimas,
aku…”
“Aku tak tahu
harus kemana lagi mencarimu kakang. Untuk pulang kerumah pun aku tidak memiliki
muka lagi. Romo pun pasti mendapatkan tuba yang pahit dari tindakanku ini. Saat
itu aku begitu lelah, tak ada kabar sedikitpun tentang kakang. Aku simpulkan
kakang telah mati. Maka akupun harus mati.”
Aku dengar gadis
itu terisak. Ia menangis dengan suara yang tak terdengar. Aku duduk di
sampingnya. Kugenggam tanganya yang sedingin es itu. Aku mencoba
menenangkannya.
Aku menatap
hamparan lembah yang sudah mulai menghitam terselimuti senja. Aku masih terus
berpikir dengan keras. Apa yang pernah terjadi pada lebih dari 500 tahun yang
lalu.
“Lalu aku lari
ke sini kakang…” gadis itu melanjutkan kalimatnya.
“Aku lari
kelembah ini hingga aku memutuskan untuk mengakhiri hidupku disini.” Gadis itu
kembali terisak, kali ini dengan pundak yang terguncang.
“Kenapa Nyi
Mas?”
“Karena aku berpikir
kalau kakang sangat menyukai Merapi dan dulu kakang selalu mengunjungi lembah
ini untuk menulis. Aku berharap akan bertemu kakang kembali di sini. Dan
harapanku terkabul… setelah sekian lama aku menunggu, akhirnya aku melihat
kakang kembali lagi ke lembah ini untuk menulis.”
Aku hanya
terdiam, mencoba untuk mengakui apa yang pernah terjadi lebih dari 500 tahun
yang lalu. Tapi satu hal yang tidak pernah aku mengerti, bagaimana aku melewati
semua ini. Dan bagaimana mimpi-mimpi itu bisa selalu muncul dalam tidurku,
bahkan sejak aku kecil. Sebuah mimpi yang sebelumnya tidak pernah aku mengerti…
“Aku gembira
sekali saat pertama kali melihat kakang kembali ke lambah ini, tahukah kakang
kalau aku selalu menemani kakang saat kakang memulai menulis di sini?”
Aku hanya
menggelengkan kepalaku sambil tersenyum.
“aku juga selalu
menyanyikan dendang tembang Dhandhang Gulo saat kakang hendak beranjak pergi.
Kakang masih ingat waktu kita masih kecil dulu? Saat pertama kali aku
menyanyikan tembang ini di depan kakang?”
Adzan Maghrib
terdengar mengalun lirih dari kejauhan. Getaran suaranya serasa kembali mengisi
relung-relung pikiranku yang kosong. Gadis itu bangkit dari duduknya dan
melangkah pelan ke arah sungai.
“Sudah waktunya
kakang pergi…” Katanya dengan nada lirih.
Akupun bangkit
dari dudukku dan mendekatinya.
“Aku akan
kembali ke rumah Mbah Marijan. Malam ini aku akan menginap di sana. Besok pagi setelah sarapan, aku akan
kembali lagi kesini untuk melanjutkan menulis skripsiku. Dan aku berharap
Nyimas ada disini menemaniku.”
Gadis itu
tersenyum, sebuah senyuman yang sangat manis menghiasi wajah pucatnya.
“Besok aku
tunggu kakang di sini. Kakang hati-hati di jalan.” Dengan perlahan tubuh gadis
itu tampak menjadi samar dan akhirnya menghilang dari pandanganku. Aku hanya
tersenyum sambil menatap ke arahnya.
Dengan perasaan
yang tak menentu. Namun jujur, aku akui ada perasaan senang di hatiku. Seperti sebuah
kerinduan yang telah lama berkarat di hati dan kini telah terobati. Sebuah
perasaan senang yang luar biasa.
Aku berjalan
menelusuri jalan setapak di kaki Merapi menuju rumah Mbah Marijan. Sayup
terdengar suara seorang wanita terdengar merdu menyanyikan lagu Dhandang Gulo.
Ana pandhita akarya wangsit…
kaya kombang anggayuh tawang…
susuh
angin ngendinggone…
lawan
galihing kangkung…
watesane langit jaladri…
tapake kuntul mabur lan gigiring
panglu…
kusumo anjrah ing tawang, isine wuluh
wungwang…
(Cirebon, penghujung Mei 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar